Budaya
patriarki yang masih dominan di Indonesia saat ini menemukan akar masalahnya
dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari ranah pendidikan,
ekonomi, sosial, hingga politik. Dampaknya telah membuat keterbatasan aktivitas
perempuan di ruang publik semakin terasa nyata. Terlebih lagi, keberlanjutan
budaya patriarki semakin mengesampingkan harapan akan terciptanya kesetaraan
gender di Indonesia, menjadikannya tampak sebagai sebuah gagasan yang sulit
terwujud.
Kehadiran
perempuan dalam posisi kepemimpinan di berbagai sektor telah menjadi isu yang
semakin menarik untuk dieksplorasi. Meskipun kemajuan signifikan telah terjadi
dalam memperjuangkan kesetaraan gender, tantangan bagi perempuan yang mengejar
posisi kepemimpinan tetap kuat terutama dalam menghadapi budaya patriarki yang
masih dominan.
Budaya
patriarki yang terus berlanjut telah menjadi penghalang bagi perempuan yang
berusaha membangun karier di posisi kepemimpinan. Stereotip dan harapan yang
melekat pada peran gender mempengaruhi persepsi terhadap kemampuan perempuan
dalam posisi kepemimpinan. Meskipun kualifikasi dan kinerja perempuan bisa
sebanding dengan pria, mereka sering kali dihadapkan pada stereotip bahwa
mereka tidak cukup mampu atau terlalu emosional untuk memimpin.
Aktivitas
perempuan cenderung terpaku pada tugas-tugas domestik, seperti urusan rumah
tangga, memasak, atau membersihkan, sehingga seringkali kehilangan peluang
untuk mengekspresikan dirinya secara maksimal. Husein, seorang Pejuang Advokasi
Kesetaraan dan Keadilan Gender, mengungkapkan bahwa sistem patriarki memberikan
beban yang sangat berat pada perempuan, terutama bagi mereka yang sudah
menjalani kehidupan berumah tangga.
Bukan
hanya budaya patriarki, namun juga beban ganda yang sering kali menimpa
perempuan di posisi kepemimpinan. Tanggung jawab profesional yang besar sering
kali diiringi oleh tanggung jawab domestik yang tak kalah berat. Perempuan
pemimpin sering kali merasakan tekanan untuk mencapai kesuksesan di tempat
kerja sekaligus mempertahankan keseimbangan dengan peran-peran di rumah,
seperti merawat keluarga dan mengurus rumah tangga.
Kurangnya
pemahaman tentang pentingnya kesetaraan membuat perempuan yang telah menikah
menghadapi kesulitan dalam mengeksplorasi potensi dirinya sendiri. Dalam
konteks ini, ruang gerak perempuan menjadi sangat terbatas. Pejuang Advokasi
Kesetaraan dan Keadilan Gender mengatakan bahwa dalam pernikahan di Indonesia, dominasi seringkali menjadi hal
yang muncul. Padahal, menurutnya, sebuah pernikahan yang harmonis adalah saat
kedua belah pihak dapat saling melengkapi satu sama lain.
Namun,
di tengah tantangan ini, banyak perempuan pemimpin yang menghadapi dan
mengatasi segala rintangan tersebut. Mereka membuktikan bahwa kemampuan
kepemimpinan tidak ditentukan oleh jenis kelamin, tetapi oleh kompetensi, visi,
dan dedikasi. Mereka menciptakan perubahan dalam budaya organisasi,
memperjuangkan kesetaraan, dan memberikan inspirasi bagi generasi perempuan
masa depan untuk mengejar impian mereka.
Dalam
menghadapi budaya patriarki dan beban ganda ini, langkah-langkah seperti
dukungan lebih lanjut dari lingkungan kerja, kebijakan yang mendukung
kesetaraan gender, dan kesadaran akan pentingnya peran laki-laki sebagai sekutu
dalam merubah norma-norma yang ada menjadi kunci utama menuju kesetaraan sejati
di tempat kerja.
Perjalanan
yang dilalui perempuan di posisi kepemimpinan memang penuh tantangan. Namun,
semangat, kerja keras, dan dukungan dari berbagai pihak menjadi fondasi penting
dalam menghadapi rintangan tersebut. Dengan demikian, diharapkan bahwa budaya
patriarki bisa terlampaui dan beban ganda yang selama ini dirasakan oleh
perempuan pemimpin bisa dikurangi. Hal ini tidak hanya akan membuka pintu bagi
terciptanya lingkungan kerja yang lebih inklusif dan adil bagi semua individu,
namun juga akan menciptakan peluang yang sama bagi siapapun, tanpa melihat
jenis kelamin mereka, untuk berkembang dan sukses dalam karier mereka.