Santika
Azizah, 22 tahun, mahsasiswi Institut STIAMI, sudah hakul yakin bakal memilih
Prabowo Subianto di Pilpres 2024. Alih-alih melemah, keyakinan Santika untuk
mencoblos Prabowo justru menebal setelah Gibran Rakabuming Raka, putra sulung
Presiden Joko Widodo, didapuk jadi pendamping Prabowo, akhir Oktober
lalu.
"Enggak
ada rasa bimbang. Malah saya setuju sekali kalau Gibran menjadi cawapres
Prabowo. Era saat ini sudah didominasi oleh gen Z dan milenial. Mau sampai
kapan Indonesia dipimpin dengan gen X atau baby boomers terus?
Lalu, kapan anak muda bisa mendapat kesempatan?" ujar Santika
Sempat
menolak pinangan sebagai cawapres karena alasan pengalaman dan regulasi, Gibran
mendadak memenuhi syarat sebagai cawapres setelah Mahkamah Konstitusi (MK)
merilis putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, Oktober lalu. Putusan itu merevisi
syarat usia bagi calon capres-cawapres yang tertuang dalam UU Pemilu.
Dalam
putusannya, MK membolehkan calon yang belum berusia 40 tahun untuk berkompetisi
menjadi capres dan cawapres. Syaratnya, sang calon harus pernah dipilih atau
menjabat menjadi kepala daerah. Saat putusan itu diketok Ketua MK Anwar Usman,
Gibran masih berusia 36 tahun. Anwar ialah paman Gibran.
Isu
politik dinasti menyeruak pascaputusan itu. Sejumlah pengamat menilai Jokowi
ikut 'cawe-cawe' mempengaruhi putusan MK. Tujuannya tak lain untuk memastikan
Gibran bisa mendampingi Prabowo. Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN)
Prabowo-Gibran, Roesan Roslani bahkan sempat menyebut Gibran adalah stempel
arah dukungan Jokowi di Pilpres 2024.
Santika
tak mempersoalkan embel-embel dinasti politik yang melekat pada Gibran. Menurut
dia, penguasa yang lahir dari dinasti politik belum tentu
"bermasalah". Di lain sisi, ia menyebut Jokowi dan Gibran juga belum
terbukti melakukan kejahatan atau kecurangan yang terkait dengan Pemilu
2024.
"Jika
dirasa dan terlihat beliau (Gibran) mampu dan punya action, jangan
pungkiri itu dengan mencari kelemahannya dan menganggap kalau Gibran masih
terlalu muda untuk menjadi cawapres. Dengan diusungnya Gibran menjadi cawapres
Prabowo, keyakinan saya untuk memilih prabowo semakin bertambah," ujar
dia.
Suara
Santika bisa dikata mewakili persepsi mayoritas gen Z saat ini. Hasil survei
Poltracking yang dirilis Sabtu (11/11), menemukan mayoritas generasi pemilih
muda lebih mendukung pasangan Prabowo-Gibran. Yang dikategorikan pemilih muda
ialah gen Z yang usianya di bawah 22 tahun dan milenial muda yang kisaran
usianya 22-30 tahun.
Di
kalangan Gen Z, misalnya, elektabilitas Prabowo-Gibran mencapai 45,9%. Pasangan
Ganjar Pranowo dan Mahfud MD hanya memperoleh 26,2% dan pasangan Anies Baswedan
Muhaimin Iskandar hanya mengantongi 24,6% elektabilitas. Pada kalangan milenial
muda, Prabowo-Gibran juga unggul dengan elektabilitas 42,1%, diekor
Ganjar-Mahfud (27,2%) dan Anies-Imin (26,1%).
Tak
semua semakin cinta Prabowo. Azka Avicena Fauzy, misalnya. Mahasiswa
Universitas Islam Jakarta itu mengaku tak mau memilih Prabowo karena didampingi
Gibran. Ia menyebut Gibran contoh yang buruk bagi generasi muda.
"Dengan
memilih Prabowo yang tetap dengan Gibran, sama aja ngasih peluang untuk
lahirnya dinasti Jokowi yang bakal mencederai semangat demokrasi yang adil
serta terhindarnya sejumlah orang dari partai-partainya koalisi ini yang
sebenarnya terjerat korupsi," kata Azka
Azka
mengikuti perkembangan pencalonan Gibran. Ia paham Gibran mendadak memenuhi
syarat lantaran ada revisi aturan secara kilat di MK. Alih-alih membuka peluang
bagi anak muda untuk unjuk gigi di dunia politik, menurut Azka, proses
pencalonan Gibran justru merusak tatanan demokrasi yang dibangun dengan susah
payah sejak era-Reformasi.
"Selain
itu, anak muda juga mestinya lebih memahami arti bersaing secara sehat tanpa
harus membengkokkan aturan secara kilat. Ini justru akan jadi preseden yang
buruk, yakni menggambarkan tentang bagaimana ia (Gibran) akan membuat kebijakan
nantinya ketika berkuasa," ujar Azka.
Azka
juga mengkritik Prabowo yang menerima Gibran sebagai pendampingnya meskipun
punya banyak kandidat lain yang justru jauh lebih matang dan punya pengalaman
di birokrasi pemerintahan. Menurut dia, Gibran semata-mata dipilih untuk
memastikan kemenangan di Pilpres 2024.
"Pertama,
agar sesuai dengan rebranding yang lagi dia (Prabowo) lakukan dari stigma lama
yang patriotik dan militeristik ke arah baru yang moderat, dekat dengan kaum
muda. Dengan begitu, ia memilih wakil yang muda," kata Azka.
Selain
itu, ia menyebut Prabowo juga ingin meraup suara dari kalangan
kelompok-kelompok relawan pro-Jokowi yang cukup besar. "Ketiga, mungkin
dia udah enggak terlalu percaya kalau orang-orang yang dianggap bohir itu
menjamin kemenangannya. Ia tahu bahwa ia kalah di dua pilpres sebelumnya meski
membawa wakil yang bohir," kata dia.
Pada
Pilpres 2014, Prabowo berpasangan dengan Hatta Rajasa, seorang pengusaha yang
pernah menjabat sebagai Menteri Perhubungan era Susilo Bambang Yudhoyono. Pada
Pilpres 2019, Prabowo menggandeng Sandiago Uno, rekan separtai yang juga
pengusaha besar. Di dua pilpres itu, Prabowo "dipecundangi" Jokowi.
Yanindra
Aribah, mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta, menyikapi pencalonan Gibran secara
diplomatis. Terpilihnya Gibran sebagai cawapres Prabowo, kata dia, menghapus
stigma bahwa anak muda tidak boleh memegang jabatan tertentu di dunia
politik.
"Dia
bisa jadi salah satu idola atau aktivis yang berhasil menentang adanya
birokrasi bahwa kalau mau jadi cawapres itu lo harus umur
sekian. Jeleknya, stigma masyarakat akan adanya politik dinasti itu makin
kuat," kata Yanindra.